Gue nyolong judul dan nyolong inspirasi gambar edisi ini dari lagu yang gue dengerin dari series Apple TV - Shrinking. Series tentang seorang Shrink/Psikolog yang karena sebuah kejadian traumatis, jadi bikin dia butuh bantuan dari psikolog juga.
Jadi di episode yang lagi gue tonton, closing scenenya ngeliatin salah satu lead dari series itu lagi nangis dan distraught karena dia lagi ngadepin trauma dia. Ending scenenya ngeliatin dia dalam proses ngelakuin kesalahan, dan pelan-pelan lagu ini mulai kedengeran.
Bagian reff dan outro dari lagu ini yang kayak mantra — “It’s okay, make mistakes, make mistakes” diulangi berkali-kali sambil diiringi sama band yang pelan-pelan naikin intensitasnya; dari cuma vokal dan gitar akustik, sampe akhirnya teriak-teriak + drum dan distorsi gitar. Pengalaman itu bikin gue terinspirasi untuk gambar dan nulis edisi ini karena rasanya kayak si penyanyi lagi nyanyi buat gue — both untuk versi gue yang dulu dan yang sekarang — yang masih suka kebawa (terlalu) takut untuk bikin kesalahan.
Pertama-tama, mistakesnya tolong jangan dianggap mistakes yang parah yak seperti merampok bank dan mengkorupsi uang rakyat serta mengangkangi konstitusi. Yang merugikan dan menyakiti orang lain mah sebisa mungkin jangan (apalagi menyakiti rakyat.)
Acceptable mistakes yang gue maksud adalah kesalahan yang terjadi nggak sengaja, karena lo lagi nyoba sesuatu yang baru atau diluar comfort zone lo.
Acceptable mistakes ini diantaranya:
Learning mistakes: bikin codingan error mulu pas belajar programming wk
Career exploration mistakes: ambil kerjaan yang ternyata nggak lo banget
Creative mistakes: mulai bikin cerita pendek tapi ternyata kureng
Social mistakes: salah nyebut nama orang yang baru kenal
Tolong dibedakan dengan kesalahan yang disengaja dengan niat jahat, dan kesalahan yang terjadi karena elo slebor dan ga niat kerja.
Sejak kapan kita jadi setakut ini?
Kalo dipikir-pikir, sejak kapan ya kita (orang dewasa) takut bikin kesalahan? Nah, coba deh kita flashback sebentar. Lucu ya kalo dipikir-pikir, definisi "kesalahan yang acceptable" itu berubah banget seiring kita tambah gede:
Jaman masih balita: LITERALLY hampir semua kesalahan acceptable. Numpahin susu? Ih lucu. Jatoh pas belajar jalan? Biasa. Ngomong "mamaw" instead of "mama"? Malah gemes.
Jaman SD: Masih lumayan santai sih. Salah ngerjain PR? Besok bisa diperbaikin. Gagal eksperimen IPA? Ya namanya juga belajar. Awkward pas kenalan sama temen baru? Besok udah lupa.
Masuk SMA: Nah, disini mulai berkurang nih definisi "acceptable mistakes"-nya. Mulai ada konsekuensi yang lebih serius, tapi masih ada ruang buat "masa-masa pembelajaran" gitu.
Eh pas udah kerja: Bam! Tiba-tiba list "acceptable mistakes" kita jadi super pendek. Typo dikit di email ke klien? Anxiety. Salah ngomong pas presentasi? Berasa mau langsung tulis surat resign.
Parahnya, perubahan mindset ini tuh pelan-pelan masuk banget. Pelan-pelan, ga kerasa, kita jadi makin strict sama diri sendiri. Kapan ya sebenernya kita mutusin kalo jadi pemula, jadi ga sempurna, basically... jadi manusia itu ga acceptable?
Ga keitung berapa banyak kesempatan yang sangat-sangat berharga untuk gue personally ataupun bisnis gue yang gue lewatkan hanya karena gue takut salah. Gue pernah punya kesempatan jadi mentee salah seorang CEO huge company yang skillset dan pengalamannya bisa banget jadi benefit gue dan usaha gue waktu itu. Ga jadi karena gue takut gue salah-salah nanya dan keliatan bego. Sekarang gue ngeliat kebelakang, gue ga jadi menteenya dia itu lah gue bego banget wkkwkw.
Kalau gue reflect ke gue sendiri, gue sekarang lebih takut ngelakuin kesalahan karena beberapa hal, diantaranya adalah tanggung jawab dan pressure sosial. Ya ngga seh?
Udah punya kerjaan, ga boleh salah, ntar KPI ga achieve. Belum lagi kebanyakan orang ngepost di social media yang bagus-bagusnya aje. Bikin insecure.
Padahal menurut gue ngelakuin kesalahan itu adalah salah satu sinyal bahwa kita bertumbuh. Tandanya kita lagi keluar dari comfort zone, nyoba sesuatu yang baru, nyoba ngelawan rasa takut untuk jadi bego lagi.
Belajar Bikin Salah Lagi
Sekarang gimana caranya kita sebagai orang dewasa bisa lebih nyaman untuk ngelakuin kesalahan?
Ini yang gue dapet dari belajar dari anak-anak:
Learning environment: Kita harus punya lingkungan yang mendukung belajar dari ngelakuin sesuatu yang baru, walaupun mungkin terjadi kesalahan di prosesnya. Ini super penting untuk kita yang udah kerja. Kalau punya lingkungan kerja yang ngga ada psychological safety untuk ngelakuin kesalahan, berat.
Develop growth mindset: Reframe pola pikir kita, kesalahan itu data point dimana kita harus improve. Jadi sebenernya kesalahan itu ya simply proses belajar aja. Nah karena kita udah tau kalo belajar hal baru itu most likely akan ada kesalahan disitu, kita sekalian aja planning dari awal rencana ketika kesalahan itu terjadi. Back up plannya apa, contingency plannya apa.
Support systems: Anak-anak biasanya punya support system (guru, orang tua) yang encourage mereka untuk nyoba hal baru dan ngeyakinin mereka bahwa salah itu biasa. Sekarang kita ga punya hal itu secara alami. Kita harus usaha untuk bikin support system ini. Cari temen, kolega, mentor, atasan yang kira-kira punya visi yang sama.
“Tapi kalo gue nerima kesalahan, standard gue ga tinggi dong?” mungkin itu yang lagi lo pikirin?
Pastinya kita harus bedain, mana yang productive mistakes karena lo lagi belajar sesuatu, mana yang emg lo ceroboh-bin-slordeh aja. Yang satu itu terjadi karena lo lagi nyoba hal baru, yang kedua itu karena lo careless.
Terus gimana sih cara yang praktis buat recover kalo udah terlanjur bikin kesalahan?
Ini beberapa tips yang bisa lo coba:
Acknowledge & Own It.
Dari pengalaman gue, orang justru akan respect ketika kita owning kesalahan kita. Orang yang defensive justru ngebuat ilang respect.
Make it Right, Make it Better.
Komunikasiin ke semua pihak yang terdampak. Propose solusi yang konkret. dengan timeline yang jelas. Bikin sistem baru biar kesalahan yang sama ga keulang lagi.
Move Forward with New Knowledge.
Nah ini yang penting, jangan stuck di kesalahan itu terus. Jadiin kesalahan yang udah terjadi dan terhandle itu jadi sebuah pengetahuan baru aja. Lo sekarang jadi lebih pinter karena udah tau cara handle situasi kayak gini.
Jadi inget lagi sama lagu yang gue ceritain di awal. "It's okay, make mistakes" diulang berkali-kali kayak mantra. Mungkin kita juga perlu ngingetin diri kita sendiri berkali-kali: bikin kesalahan itu normal, yang penting kita tau bedain mana kesalahan karena lagi belajar, mana yang karena kita emang slebor. Semoga ini jadi pengingat buat gue dan kita semua supaya bisa lebih punya healthy relationship dengan kesalahan.
“It’s okay, make mistakes, make mistakes. It’s okay, make mistakes, make mistakes…”
Nanti pas lagi ngobrol sama kawan, cobain ini deh. Tanyanya jangan yang surface level aja. Coba kulik lebih dalem dikit. Mungkin dia ga gubris dan jawab surface level juga, atau mungkin, kalau hoki, bisa ada obrolan yang dalem dan menarik dan langka. Gue mau cobain next ngobrol-ngobrol offline.
Mbak-mbak neuroscientist kesukaan gue tentang reframing pertanyaan yang suka autoplay di kepala kita:
4 C Framework untuk bangun brand di sekarang-sekarang ini. Videonya pendek, isinya super meaty.
David Foster Wallace on the importance of quiet time and being mildly bored.
Masa lalu itu ga nyata. Random life advice dari random redditers. Masuk akal~~~~~~
Semoga isi newsletter kali ini berguna, atau menghibur atau sekedar untuk spik-spik ke kolega atau bosmu ya.
Siapa tau lo mau value lebih:
Free Content Pillar generator:
https://contentpillar.id/ (Free)
Resources untuk manage Imposter Syndrome: https://bit.ly/managing-imposter (Free)
Belajar Marketing Foundation lewat pre-recorded course: https://clicky.id/botakasu/marketing-foundation (Paid)
Thanks untuk topik ini, Mas Nara. Ada satu hal yg juga membuat orang taku berbuat kesalahan, yaitu kekurangan atau ketiadaan financial safety net. Ini membuat kesalahan jadi sangat tidak bisa ditolerir karena resourcenya terbatas. Sayangnya, di kebanyakan keluarga di Indonesia, semua pakai patokan ini. Sehingga, sebenarnya ada kesalahan² yg tolerable, malah diperlakukan seolah² seperti hal fatal.