Bayangin lo berdiri di ambang pintu. Setengah badan masih di ruangan yang hangat dan familiar, tempat dimana lo udah nyaman bertahun-tahun. Kaki kanan udah melangkah ke ruangan baru yang dingin dan asing. Jantung lo berdebar kencang, telapak tangan basah karena keringat, dan perut lo mules kayak pagi pertama masuk sekolah setelah libur panjang...
Ini yang disebut Liminal Space - dari kata Limen yang artinya threshold atau ambang batas. Sebuah kondisi transisi yang biasanya terjadi karena ada big changes di hidup lo.
Yang gue tulis di post ini adalah tentang psychological liminal spaces, periode transisi yang mungkin dialami manusia. Ada juga liminal spaces yang beneran space atau tempat. Very very unsettling hahahaha. Silakan nanti setelah selesai baca bisa nonton youtube dibawah kalau penasaran.
Sebagaimana apapun yang namanya transisi, pasti penuh dengan ketidak pastian. Otak kita sebagai manusia secara evolusioner benci terhadap ketidakpastian. Pasti kita nyarinya yang pasti-pasti. Pasti anget, pasti kering, pasti ada makanan. Karena kalau dulu jaman prasejarah, ketidak pastian itu mungkin aja artinya kematian.
Our brain is uncomfortable in liminal spaces. Fear of uncertainty is an evolutionary mechanism designed to protect us from unknown risks. Our brain resists change and seeks predictable patterns.
Maka dari itu, ketika kita masuk ke liminal space, otomatis respons kita ya keluar secepet mungkin. Lari yang kenceng, sampe pokoknya secepetnya nemu yang pasti-pasti aja deh. padahal kata anne laure, liminal space itu adalah tempat yang subur juga untuk transformasi.
Liminal space adalah tempat dimana ujung dari kita yang dulu, ketemu dengan ujung awal kita yang akan datang. Pertemuan dua ujung atau “edges” inilah liminal space berada. Di ilmu ekologi, ada istilah yang namanya “edge effect” atau efek tepian - basically ini tuh area dimana satu habitat berubah jadi habitat lain. Misalnya rawa yang pelan-pelan berubah jadi danau, atau hutan yang nyambung ke padang rumput. Nah yang menarik, area transisi kayak gini tuh justru kaya banget akan kehidupan dan berbagai strategi bertahan hidup. If you want to, you can use this to propel your evolution, so to say.
Jadi setelah membaca-baca, kayaknya ini yang bisa jadi opsi untuk dilakukan ketika lo lagi di masa-masa transisi yang membingungkan:
Ngambang tapi tetap aware
Inget dulu pas kecil main di kolam arus? Kita harus ngambang, ikutin flow arusnya, tapi tetap harus aware terhadap sekitar, kan? "Waah, itu ada bocil rusuh nyiprat-nyipratin air" (gue dulu gini), "wah, ini bapaknya keenakan tiduran di ban gede", "gue harus renang dikit ke kanan biar ga nabrak", "wah, seru juga tuh mereka sama temen-temen jadi bisa ngobrol", dll. Nah, kurang lebih, ketika lo berada di liminal spaces, lo juga bisa terapin itu.Banyak yang comes and goes di pikiran lo, ada identitas baru yang mungkin lo rasa menarik, ada iklan lowongan kerjaan baru yang potentially bisa jadi identitas baru lo, ada orang yang tiba-tiba ngomong begini, keluarga yang ngasih nasihat begitu, dll. Gpp ikutin aja, perhatiin attention lo naturally lebih ngarah kemana. Karena kalo dari pengalaman gue sih, ada yang lewat doang, ada yang menetap. Coba perhatiin deh mana yang menetap.
Refleksi dan Small Experiments
Nah, dari beberapa yang menetap, coba jadiin bahan refleksi. Apakah beneran ini yang lo mau? Tips bagus yang gue baca, do small experiments on it. Jangan langsung “wah gue sekarang udah berubah jadi begini. 100% ga bisa nggak, gass mentok”. Lo bisa kok coba versi kecilnya dulu. Kalo ada kerjaan yang menurut lo menarik, coba cari side jobnya sebagai itu dulu. Cobain beberapa kali. Kalo ada bisnis yang kayaknya adalah jalan lo menghabiskan hidup, cobain dulu bikin batch kecil, jadiin weekend gig. Beneran suka/cocok apa nggak?
Kenapa small experiments penting? Karena kita sering tergoda buat ambil keputusan besar based on emosi sesaat. Mark Manson bilang, kita sering bikin keputusan terburuk waktu terlalu fokus sama perasaan jangka pendek dan kurang mempertimbangkan komitmen jangka panjang. Dengan coba-coba dalam skala kecil dulu, kita bisa lebih objektif nilai apakah ini beneran cocok atau cuma impulse sesaat aja
3. Cari Support System yang TepatSalah satu beban terberat waktu kita di masa transisi tuh justru perasaan berat kayak"apa gue doang yang begini ya?" atau "ada yang salah ga sih sama gue?"
Padahal kalo dipikir-pikir, semua orang pasti pernah dan akan mengalami masa transisi. Cuma ya gitu, kadang kita (gue) ngerasa jadi orang paling aneh sedunia - questioning everything, termasuk priviledge yang kita punya sekarang. "Kok ga bersyukur sih sama yang udah ada?"
Nah menurut gue, di sinilah pentingnya punya support system yang bisa:
Dengerin tanpa judge
Kasih perspective dari sudut pandang yang beda
Nemenin lo dalam journey ini tanpa maksa lo buat cepet-cepet keluar dari fase ini
Sharing sama istri dan keluarga gue ngebantu banget untuk menurunkan beban mental yang gue rasain. Yang penting, pilih dengan bijak ke siapa lo cerita. Karena ga semua orang punya kapasitas buat jadi support system yang lo butuhin. Ada yang malah bikin lo tambah anxiety dengan komen-komen yang well-meaning tapi ga helpful: "udah, jangan kebanyakan mikir", "yang lain aja pada fine-fine aja tuh", dll.
Liminal space emang ga nyaman. Tapi kalo kita bisa reframe perspektif kita, ini bisa jadi tempat yang subur buat transformasi. Next time lo ngerasa lagi "ngambang" di antara yang lama dan yang baru, inget: sometimes, the most meaningful transformations happen exactly when we're standing in between who we were and who we're becoming. mungkin.

Temen makan siang hari ini. Banyak yang mungkin lo udah tau, cuma good refresher kok. Hal-hal yang seiring kita jalanin hidup, kita lupain.
AI sebagai salah satu daya ungkit tertinggi. Leverage atau daya ungkit adalah salah satu kekuatan yang sangat sangat sangat berguna untuk hidup kita. Presentasi dari AI researcher ini nyeritain tentang leverage dan dimana AI berada dalam leverage ladder. Harus nonton!
Di zaman dimana bikin app udah semakin gampang, yang bikin beda adalah filosofi dalam bikin appnya. Tujuannya buat apa? Ada misi apa dalam membuat appnya? Tulisan ini ngebahas tentang builder sekarang ngga bisa asal build cepet efektif dan efisien aja, tapi harus jadi philosopher juga.
Semoga isi newsletter kali ini berguna, atau menghibur atau sekedar untuk spik-spik ke kolega atau bosmu ya.
Kalau lo mau value lebih:
Tools untuk bikin customized Personal Branding Strategy + Content Ideation Generator + Courses:
https://personalbranding.id/ (Paid)
Free Content Pillar generator:
https://contentpillar.id/ (Free)
Resources untuk manage Imposter Syndrome: https://bit.ly/managing-imposter (Free)
Belajar Marketing Foundation lewat pre-recorded course: https://clicky.id/botakasu/marketing-foundation (Paid)