ini agak panjang, hati-hati~~~
Gue pernah bikin free resources untuk orang-orang yang mau manage impostor syndrome. Gue bikin resources ini sebenernya untuk gue sendiri, karena gue ngerasa gue dealing dengan condition tersebut. Tapi setelah gue coba baca-baca lagi baru-baru ini, jadi malah muncul pertanyaan-pertanyaan.
Salah satu pertanyaan gue adalah, gue masih kebalik-balik sendiri mana yang self-doubt mana yang impostor syndrome.
Dalam percobaan untuk memperjelas perbedaan mereka berdua, gue coba tulis ulang disini. Please kasih feedback kalau pas baca lo ada pertanyaan atau sesuatu yang janggal.
Anyway, gue coba visualisasin perbedaannya pake metafora dengan gambar-gambar jelek unik gue.
Self-doubt itu kayak bayangan lo
Bayangan itu selalu ngikutin kemana-mana kan? Kadang panjang, kadang pendek, tergantung cahayanya dari mana. Kadang lo bahkan ga sadar ada bayangan.
Self-doubt juga gitu. Dia muncul pelan-pelan dan situasional, kadang-kadang nggak berasa.
Pas lo baru masuk kerjaan: “gue bisa ga ya?”
Pas ditawarin project baru: “sanggup ga nih gue?”
Pas ketemu orang baru: “gue menarik ga sih buat diajak ngobrol?”
Normal banget. Bahkan bisa jadi berguna, karena bikin lo lebih hati-hati dan mikir dua kali sebelum ngambil keputusan.
Tapi bayangan juga bisa terdistorsi. Pas sunset atau sunrise, bayangan lo keliatan lebih gede dari biasanya (ril min). Self-doubt juga gitu, ada situasi-situasi tertentu dimana doi makin berasa gede.
Contoh: gue lagi belajar stand-up comedy.
Logically, gue tau ini skill yang gue butuh. Kalo gue bisa lebih lucu di obrolan, harapannya orang bakal lebih suka sama gue. Kalo gue bisa blend public speaking dengan prinsip-prinsip stand up comedy, apa yang gue omongin harusnya jadi lebih engaging.
Tapi asli dah, self-doubt tuh emang gitu dah.
Baru mulai nih, pertemuan pertama, masih tentang bikin cerita bener doang, bukan cerita lucu. Ditanya siapa yg mau maju aja gue ga berani, baru sesi kedua gue berani maju untuk cerita.
Padahal gue entrepreneur-marketer dengan track record 10 tahunan. Gue udah ngomong di depan investors, clients, tim. Tapi somehow di bidang yang baru ini bikin gue jadi insecure kayak anak SMP yang mau confess ke gebetan pake lagunya Padi, “Menanti Sebuah Jawaban” (jebakan umur coy).
Ini contoh sempurna self-doubt. Muncul pas gue keluar dari comfort zone, specifically pas belajar skill baru yang high-stakes (menurut gue doang).
Tapi kalo self-doubt itu bayangan yang berubah-ubah, impostor syndrome lebih kayak sesuatu yang lo pake terus meski lo udah ‘sampai’
Self-doubt pada dasarnya adalah perception problem - ancaman atau ketidakmampuan lo keliatan lebih gede dari reality. Bayangan lo terdistorsi, tapi begitu cahayanya berubah (atau lo dapet evidence), bayangan balik normal. Impostor syndrome beda. Dia bukan soal persepsi yang salah, tapi soal recognition problem.
Impostor syndrome itu kayak mahkota yang menurut orang lain biasa aja tapi cuma lo yang ngerasain beratnya
Lo udah punya achievements, orang lain ngeliat lo berhasil, tapi lo ngerasanya kayak pake mahkota yang berat banget padahal ke orang lain keliatan biasa aja.
Ke orang lain: lo sukses, kompeten, pantas ada di posisi itu. Yang lo rasain: “Gue cuma beruntung aja,” “Mereka belum tau gue sebenernya gabisa apa-apa,” “Suatu saat pasti ketahuan gue fraud.”
Yang bikin impostor syndrome nyebelin adalah dia persist meski lo udah punya bukti konkret kalo lo emang capable. Self-doubt bisa ilang begitu lo dapet feedback positif atau berhasil ngerjain sesuatu. Impostor syndrome malah makin berat pas lo makin sukses.
Contoh konkret: Gue pas diminta jadi dosen Entrepreneurship di Vokasi UI. Initial reaction gue tuh, gue ngerasa gak pantes gitu untuk ngajarin entrepreneurship.
Padahal, ya, objectively gue (at least sampai sekarang) masih berhasil jadi entrepreneur. Dan gue ngajarinnya juga ke anak-anak mahasiswa yang belum pernah jadi entrepreneur. Jadi, objectively, harusnya ada experience atau wisdom atau know-how yang bisa gue bagi ke mereka.
Cuma perasaannya tuh tetep kayak, “Adoh anjir, gue tuh nggak pantes,” gitu. Gue tau semua momen gue fucked up, setiap keputusan yang sebenernya cuma gut feeling doang, banyak banget momen-momen dimana gue cuma winging it. Meanwhile mahasiswa-mahasiswa ini ngeliat gue kayak udah “jadi”, padahal di kepala gue, gue cuma orang yang kebetulan beruntung aja.
Plus ada mindset aneh kayak, “entrepreneur beneran” tuh harusnya punya MBA atau venture capital atau track record yang lebih “proper.” Gue kan bootstrapped entrepreneur yang sering trial-error (banyakan errornya). Jadi berasa kayak bukan entrepreneur beneran aja.
Ironisnya, mahasiswa-mahasiswa ini mungkin justru butuh sosok kayak gue, orang yang beneran ngerjain entrepreneurship, bukan cuma belajar teorinya. Tapi impostor syndrome sukses bikin gue fokus ke apa yang gue rasa kurang, bukan ke value yang sebenernya gue bawa.
(Dan mungkin ini juga kenapa gue ga pernah mau bikin digital course atau produk tentang entrepreneurship, meski orang-orang sering nyaranin. Berasa kayak fraud gitu jualan knowledge yang gue rasa belum “qualified” untuk ngajarin.)
Orang lain ngeliat gue bisa, gue ngerasa ga bisa. Orang lain ngeliat gue udah pake “mahkota”, guenya ngerasa ini mahkota berat banget. Orang lain ngeliatnya biasa aja, tapi cuma gue yang ngerasa bahwa pengen gue copot aja dah nih karena “nggak pantes nyettt”.
Kenapa manage impostor syndrome di Indonesia lebih susah
Satu hal lagi yang bikin impostor syndrome di Indonesia specifically lebih challenging: culture kita literally berlawanan dengan cara manage impostor syndrome.
Lo perlu acknowledge accomplishment untuk counter impostor syndrome, tapi culture kita trains us untuk modest. “Ah biasa aja kok”, “emang udah rejeki”, “hoki aja gue” adalah frase yang diajarkan untuk deflect credit dari diri sendiri supaya ga menonjol. Kalo lo acknowledge achievement? Dianggep sombong. Kalo lo modest terus? Impostor syndrome makin mengakar. Gimana dong coyyyy.
Bayangin lo dapet promosi di kantor. Di Indonesia, response yang “aman” adalah: “Ah biasa aja kok, kebetulan lagi butuh orang.” Kalo di luar negeri mungkin lebih ke: “I worked really hard for this and I’m proud of the result.” Keliatan sombong kan buat kita? Padahal kayak gitu yang dibutuhkan untuk counter impostor syndrome, ngakuin effort lo sendiri.
Dan ini bukan cuma soal kata-kata doang. Conditioning ini goes deep~
Gue ngerasain culture clash ini pas kuliah di luar. Di Indonesia, refleks gue adalah deflect praise. Tapi pas di luar, orang literally berlomba-lomba nanya di kelas, speak up, nunjukin engagement. Meanwhile gue dan Asian students lainnya diem aja, takut keliatan menonjol, especially yang dari collectivist cultures kayak Indonesia, Korea, atau Jepang. Kita udah diprogramming untuk jadi kecil, modest, jangan nonjol.
Intermezzo, pas nulis ini gue jadi research tentang collectivist culture itu negaranya apa aja. Dan jadi make sense kenapa gue dulu pas kuliah di luar itu lebih deket ke students dari negara-negara ini.
Examples of collectivist countries
East Asia — China, South Korea, Japan, Taiwan, Hong Kong (strong emphasis on family/ingroup, harmony, and long-term relational obligations). Hofstede and many studies mark much of East Asia as relatively collectivist. Geert Hofstede+1
Southeast Asia — Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Philippines (family/communal ties and respect for authority are often strong). Surveys and overviews list much of SE Asia as more collectivist than Western Europe / North America. World Population Review+1
South Asia — India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka — often more interdependent orientations (though India is culturally diverse and shows mixed patterns). Simply Psychology+1
Latin America — Mexico, Colombia, Peru, Guatemala, etc. — relational, family-centered values; many Latin American countries score lower on individualism indexes. Simply Psychology+1
Much of Africa — many African societies emphasize extended family and communal obligations (group welfare often prioritized). Simply Psychology
Some Middle Eastern / Mediterranean societies — strong family/tribal ties and relational obligations make these regions comparatively collectivist in many respects. Simply Psychology
Jadi impostor syndrome di sini bukan cuma battle melawan suara di kepala lo. Ini juga melawan bertahun-tahun cultural conditioning.
Jadi gimana dong bang? Gue personally lagi practice private acknowledgment, journaling achievement gue tanpa perlu ngomong-ngomong ke siapa-siapa. Dan reframing modesty, lo bisa tetep humble DAN acknowledge effort. Bukan “gue hebat”, tapi “gue proud sama ikhtiar gue”. Beda dikit, tapi langsung beda banget kan?
Ngertiin ini semua ga langsung nyelesaiin masalah, tapi at least lo tau, bukan cuma lo doang. Be kind to yourself.
Kenapa mereka sering muncul bersamaan
Meskipun self-doubt dan impostor syndrome itu binatang yang berbeda, mereka sering muncul di orang yang sama. Dan itu masuk akal sih.
Orang yang prone ke impostor syndrome biasanya perfeksionis dengan standar yang tinggi. Standar tinggi ini ngebikin dua vulnerability sekaligus.
Pertama, pas nyoba hal baru, mereka expect diri sendiri langsung jago, jadi self-doubt muncul lebih brutal karena gap antara expectation sama reality.
Kedua, pas udah berhasil, mereka nggak bisa appreciate achievement karena “harusnya bisa lebih baik lagi” - jadi success pun nggak pernah feel like enough untuk counter impostor syndrome.
Tapi perbedaannya tetep jelas:
self-doubt: “gue bisa ga ya?” → dapet evidence → “oh ternyata bisa”
impostor syndrome: dapet evidence → “ah ini cuma keberuntungan” → tetep ngerasa fraud
Jadi bukan mereka kerja sama, tapi lebih kayak, lo punya personality type yang vulnerable ke keduanya.
Kalo udah barengan muncul?
Ngerti perbedaannya penting banget karena cara ngatasinnya beda.
Untuk self-doubt: ambil action, bangun evidence step by step.
Untuk impostor syndrome: challenge narrative internal lo, stop ngumpulin achievement baru dan mulai kasih credit ke diri sendiri untuk yang udah lo punya.
Tapi gimana kalo lo dealing dengan both sekaligus? Ini bisa banget kejadian.
Contohnya: lo udah punya impostor syndrome di kerjaan lo sekarang (ngerasa fraud meski udah senior), terus ditawarin lead project baru yang belum pernah lo handle.
Boom.
Dua-duanya muncul: - Impostor syndrome: “gue sebenernya gabisa apa-apa, mereka salah pilih gue” - Self-doubt: “gue bisa ga ya ngerjain project baru ini?” Mahkota yang udah berat, terus bayangan lo juga makin panjang.
Strategynya: manage mereka secara terpisah.
Untuk self-doubt-nya: focus on learning dan building competence di project baru itu. Break down jadi small wins, kumpulin evidence.
Untuk impostor syndrome-nya: pause sebentar dan acknowledge - “gue ditawarin ini KARENA track record gue. They see something I don’t.” Inget achievement yang bikin lo sampe di posisi ini. Jangan campur aduk keduanya. Self-doubt tentang hal baru itu valid dan bahkan produktif. Impostor syndrome tentang achievement yang udah lo punya? That’s the lie you need to challenge.
These sounds easy, tapi sebenernya nggak sama sekali. Gue sendiri masih struggle kok dengan ini, tapi yang penting kita tetep inget-inget terus bahwa conditions ini bisa dimanage kok.
Semangat~~~~~~~~~~~~~
Stumbled into this, felt seen. Channelnya bagussss, production valuenya tinggi. Combining curiosity + code skills + creative shots. Auto subscribe. Bisa jadi temen makan siang lo nih di cubicle.
I want to be a better product marketer for both my personal product that I built, and for my businesses’ product. Here’s what I’m currently watching.
Gue selalu suka belajar different takes tentang personal branding, apalagi ini dari Bang Radit. Tapi sayang moderatornya kureng……
Semoga isi newsletter kali ini berguna, atau menghibur atau sekedar untuk spik-spik ke kolega atau bosmu ya.
Kalau lo mau value lebih:
Tools untuk bikin customized Personal Branding Strategy + Content Ideation Generator + Courses:
https://personalbranding.id/ (Paid)
Free Content Pillar generator:
https://contentpillar.id/ (Free)
Resources untuk manage Imposter Syndrome: https://bit.ly/managing-imposter (Free)
Belajar Marketing Foundation lewat pre-recorded course: https://clicky.id/botakasu/marketing-foundation (Paid)